Air Mata yang Menjadi Akhir Garis Darah Aroma mei hua yang memabukkan menusuk hidungnya, namun tidak mampu mengusir bau anyir darah yang ...

Kisah Populer: Air Mata Yang Menjadi Akhir Garis Darah Kisah Populer: Air Mata Yang Menjadi Akhir Garis Darah

Air Mata yang Menjadi Akhir Garis Darah

Aroma mei hua yang memabukkan menusuk hidungnya, namun tidak mampu mengusir bau anyir darah yang mengental di istana yang dulunya adalah rumahnya. Putri Lian, sang angsa putih dari Liang, kini hanya serpihan kenangan. Dulu, ia adalah tawa renyah di tengah taman bunga persik, keanggunan yang membius para pujangga. Sekarang, ia adalah bayangan yang menari di lorong-lorong gelap, dipenuhi luka yang tak kasat mata.

Cinta dan kekuasaan. Dua racun yang merenggut segalanya. Kaisar Jian, yang dulunya berjanji bulan dan bintang, kini hanya menyisakan pengkhianatan. Keluarga Lian, yang mengabdi selama beberapa generasi, kini tercoreng oleh fitnah dan dibantai tanpa ampun. Lian, yang mencintai dengan sepenuh hati, kini hanya menyisakan kekosongan.

Namun, di kedalaman jurang keputusasaan, setitik bara menyala. Bara KEBENCIAN. Bukan kebencian membabi buta, melainkan kebencian yang dingin, kalkulatif, dan mematikan. Lian berjanji. Bukan dengan kata-kata, melainkan dengan setiap tetes air mata yang jatuh, dengan setiap denyut jantung yang berdetak. Ia akan membalas.

Bertahun-tahun berlalu. Lian, dengan identitas baru, muncul kembali sebagai Lady Xue. Kecantikannya masih memukau, namun ada lapisan es di balik tatapan matanya. Ia belajar taktik perang, ilmu racun, dan seni diplomasi. Ia membangun aliansi, mengumpulkan informasi, dan menyusun rencana yang rumit.

Balas dendamnya bukan dengan pedang yang berlumuran darah, melainkan dengan senyuman yang manis namun mematikan. Ia menggunakan kekuasaan untuk menghancurkan, kesetiaan untuk mengkhianati, dan cinta untuk menghancurkan hati. Kaisar Jian, yang dibutakan oleh nafsunya, jatuh ke dalam jaring-jaring yang Lian rajut dengan sabar.

Setiap bidak yang jatuh, setiap rencana yang berhasil, membawa Lian semakin dekat pada tujuannya. Namun, setiap langkah juga menggores luka lama. Ia melihat dirinya di mata para korban, merasakan denyut kesakitan yang sama. Ia tahu, balas dendam tidak membawa kedamaian, hanya kehampaan yang lebih dalam.

Puncak dari segalanya adalah hari Kaisar Jian dijatuhkan dari tahtanya. Tidak dengan pemberontakan, melainkan dengan pengkhianatan dari orang-orang terdekatnya. Lian berdiri di hadapannya, bukan dengan amarah, melainkan dengan ketenangan yang mematikan. Ia menceritakan siapa dirinya, mengungkap kebenaran yang disembunyikan, dan menghancurkan sisa-sisa cinta yang pernah ada.

Kaisar Jian, yang hancur baik secara fisik maupun mental, hanya bisa menatapnya dengan tatapan kosong. Lian berbalik, meninggalkan istana yang penuh dengan kenangan pahit. Ia tidak merasakan kemenangan, hanya kelelahan yang mendalam. Ia telah mencapai tujuannya, namun dengan harga yang sangat mahal.

Di ambang senja, di tengah hamparan bunga mei hua yang kembali bermekaran, Lady Xue tersenyum tipis. Akhirnya, semua tetes air matanya telah menjadi permata yang menghiasi mahkotanya, dan... kini, ia akan memerintah dengan cara yang belum pernah mereka bayangkan.

You Might Also Like: 3 Manfaat Pelembab Skin Barrier Lokal

Aula Kemilau Emas Istana Kaisar Agung terhampar luas, memantulkan cahaya lilin yang berkedip-kedip. Setiap langkah di lantai marmer dingin ...

Dracin Seru: Kau Datang Dengan Sepeda Tua, Tapi Membuat Jantungku Berpacu Lebih Cepat Dracin Seru: Kau Datang Dengan Sepeda Tua, Tapi Membuat Jantungku Berpacu Lebih Cepat

Aula Kemilau Emas Istana Kaisar Agung terhampar luas, memantulkan cahaya lilin yang berkedip-kedip. Setiap langkah di lantai marmer dingin itu bergema, menggemakan intrik dan RAHASIA yang tersembunyi di balik dinding-dinding megah ini. Para pejabat istana, berjubah sutra mewah, saling bertukar pandang. Tatapan mereka tajam, menusuk, seolah mampu membaca setiap pikiran dan niat tersembunyi. Di balik tirai sutra yang berayun lembut, bisikan pengkhianatan berdesir seperti angin malam yang dingin.

Di tengah kemewahan yang mencekam ini, muncul sosok aneh: Mei Lan, seorang wanita desa yang sederhana. Rambutnya dikepang rapi, pakaiannya sederhana, dan senyumnya polos. Ia datang ke istana bukan dengan kereta kuda berhias emas, melainkan dengan... sepeda tua yang berderit-derit.

Kehadirannya membuat gempar. Bagaimana mungkin seorang wanita desa yang tidak memiliki garis keturunan bangsawan bisa berada di sini? Kecurigaan merebak seperti wabah. Namun, Kaisar Zhao – seorang pria berwajah dingin dengan mata setajam elang – tampaknya terpikat.

Zhao adalah penguasa yang kejam dan cerdas. Ia tahu setiap sudut dan celah istananya, setiap rencana dan konspirasi yang dilancarkan untuk menjatuhkannya. Ia melihat sesuatu yang berbeda dalam diri Mei Lan. Sesuatu yang murni, yang langka ditemukan di istana yang penuh tipu daya ini.

"Siapa kau?" tanya Kaisar Zhao, suaranya sedingin es.

"Saya... saya Mei Lan, Yang Mulia," jawabnya gugup. "Saya datang untuk... mengobati luka Anda."

Mei Lan ternyata adalah seorang tabib desa dengan pengetahuan tentang ramuan herbal yang tak tertandingi. Ia diundang ke istana untuk mengobati penyakit misterius yang diderita Kaisar.

Seiring berjalannya waktu, hubungan mereka berkembang. Mei Lan, dengan kesederhanaan dan kejujurannya, mencairkan hati Zhao yang membeku. Zhao, dengan kekuasaan dan karismanya, membuat jantung Mei Lan berpacu lebih cepat. Cinta mereka tumbuh di tengah intrik dan kekuasaan, menjadi permainan takhta yang berbahaya. Setiap janji bisa menjadi pedang, setiap senyuman bisa menyembunyikan racun.

Zhao menawarinya kekuasaan, tahta, seluruh kerajaannya. Mei Lan menolaknya. Ia hanya menginginkan cintanya, cinta yang tulus, bukan cinta yang ternoda oleh ambisi dan politik.

Namun, cinta mereka tidak luput dari perhatian Ratu Lian, permaisuri yang licik dan haus kekuasaan. Lian telah merencanakan segalanya untuk memastikan anaknya naik tahta. Kehadiran Mei Lan adalah ancaman yang harus dihilangkan.

Ratu Lian melancarkan serangkaian konspirasi untuk menjatuhkan Mei Lan. Ia menyebarkan fitnah, menjebak Mei Lan dalam pengkhianatan, dan bahkan mencoba meracuninya. Namun, Mei Lan bukan wanita yang lemah. Ia memiliki kecerdasan dan keteguhan hati yang selama ini tersembunyi.

Pada malam bulan purnama, Ratu Lian melancarkan serangan terakhirnya. Ia memerintahkan pengawal istana untuk menangkap Mei Lan dan menghukumnya di depan umum. Namun, Mei Lan telah menduganya. Ia telah menyiapkan rencana balas dendam yang elegan, dingin, tapi MEMATIKAN.

Saat para pengawal istana menyeretnya ke tengah halaman istana, Mei Lan tersenyum. Senyum yang menakutkan. Ia mengungkapkan bukti tak terbantahkan tentang pengkhianatan Ratu Lian, tentang rencananya untuk membunuh Kaisar dan merebut tahta.

Aula Kemilau Emas menjadi hening. Kaisar Zhao terkejut. Ia tidak percaya wanita yang dicintainya telah mengkhianatinya. Namun, bukti yang disajikan Mei Lan terlalu kuat untuk diabaikan.

Dengan suara bergetar, Kaisar Zhao memerintahkan penangkapan Ratu Lian. Lian menjerit, meronta-ronta, namun percuma. Kekuasaannya telah runtuh.

Mei Lan mendekati Kaisar Zhao. Matanya dingin, tanpa setitik pun cinta. "Kau telah dibutakan oleh kekuasaan, Yang Mulia. Kau telah mengkhianati cintaku, dan sekarang... kau akan merasakan akibatnya."

Mei Lan mengangkat tangannya, memperlihatkan ramuan beracun yang mematikan. Ia telah mencampurkannya ke dalam teh yang biasa diminum Kaisar.

Kaisar Zhao terhuyung. Ia menatap Mei Lan dengan tatapan tidak percaya. Ia baru menyadari betapa dalamnya cinta Mei Lan padanya, dan betapa besar rasa sakit yang telah ia timbulkan.

Mei Lan menjatuhkan racun itu dan berbalik. Ia meninggalkan Aula Kemilau Emas, meninggalkan Kaisar Zhao terbaring di lantai, dan meninggalkan istana yang penuh intrik dan rahasia. Ia menaiki sepeda tuanya dan menghilang ke dalam kegelapan malam.

Dan di Aula Kemilau Emas yang sunyi senyap, bisikan mulai beredar... Kaisar Zhao tidak mati.

You Might Also Like: 10 Manfaat Sunscreen Lokal Dengan

Judul: Aku Mencintaimu Seperti Rahasia, Indah Tapi Menyesakkan Angin berbisik di antara pepohonan sakura yang berguguran, menari seperti k...

Harus Baca! Aku Mencintaimu Seperti Rahasia, Indah Tapi Menyesakkan Harus Baca! Aku Mencintaimu Seperti Rahasia, Indah Tapi Menyesakkan

Judul: Aku Mencintaimu Seperti Rahasia, Indah Tapi Menyesakkan

Angin berbisik di antara pepohonan sakura yang berguguran, menari seperti kenangan yang hampir terlupakan. Di taman tersembunyi, di mana waktu seolah berhenti berputar, aku melihatmu. Sosokmu bagai lukisan kabut pagi, samar namun begitu memikat. Apakah ini nyata? Atau hanya ilusi yang diciptakan kerinduanku?

Matamu, danau zamrud di tengah hutan yang gelap, menyimpan rahasia yang tak terucapkan. Setiap kali kita bertemu, dunia di sekelilingku menghilang. Hanya ada kita, dalam keheningan yang penuh arti. Sentuhan jemarimu, sehalus sutra yang dihembus angin, membakar hatiku dengan api yang tak mungkin padam.

Aku mencintaimu seperti rahasia. Indah, bagai mimpi yang tak ingin kubangunkan. Menyesakkan, karena aku tahu, kau tak mungkin kumiliki. Cintaku padamu bagai rembulan yang jatuh ke laut, tenggelam dalam kedalaman tanpa batas.

Kita bertemu di persimpangan waktu, di dimensi yang terlupakan. Apakah kita pernah bersama di kehidupan sebelumnya? Ataukah kita hanya dua jiwa yang tersesat, mencari pelipur lara dalam kesunyian?

Setiap senyummu, adalah matahari yang menerangi hari-hariku. Setiap tatapanmu, adalah bintang yang membimbingku dalam kegelapan. Namun, semua itu hanya ilusi. Sebuah fatamorgana yang diciptakan oleh hatiku yang merindu.

Suatu hari, kau menghilang. Tanpa jejak, tanpa penjelasan. Aku mencarimu di setiap sudut kota, di setiap mimpi yang kubangun. Namun, kau tetap tak kutemukan. Kau bagai embun pagi yang menguap saat matahari terbit.

Kemudian, aku menemukan suratmu. Tersembunyi di balik lukisan bunga teratai yang kau berikan padaku. Tulisannya berbunyi: "Aku hanyalah bayangan dari masa lalu, yang tak mungkin menjadi kenyataan. Cintaku padamu, adalah kutukan yang tak bisa dihindari."

Misteri terpecahkan. Kau adalah hantu dari masa lalu. Seorang putri yang meninggal karena cinta yang terlarang. Cintaku padamu, adalah reinkarnasi dari kisah tragis yang tak pernah selesai. Keindahan ini, justru membuat luka makin dalam.

Dan di sana, di antara bisikan angin dan guguran bunga sakura, aku mendengar suara HALUS... "Kita akan bertemu lagi, di kehidupan yang lain..."

You Might Also Like: Reseller Kosmetik Bimbingan Bisnis

Cinta yang Menghapus Nama Dewa Malam itu abadi . Kegelapan mencengkeram Istana Giok, seperti dendam purba yang enggan melepaskan. Salju tu...

Cerpen Terbaru: Cinta Yang Menghapus Nama Dewa Cerpen Terbaru: Cinta Yang Menghapus Nama Dewa

Cinta yang Menghapus Nama Dewa

Malam itu abadi. Kegelapan mencengkeram Istana Giok, seperti dendam purba yang enggan melepaskan. Salju turun, membalut segalanya dalam keheningan yang menyesakkan. Namun, di balik tirai kristal itu, darah mengalir, menodai kesuciannya.

Aroma dupa cendana bercampur dengan bau amis. Lin Wei, sang dewi perang yang ditakuti, berdiri di tengah ruangan. Wajahnya pucat, diterangi oleh cahaya obor yang berkedip-kedip. Di hadapannya, berlutut seorang pria. Xiao Chen, dewa matahari yang dulu dipujanya, kini hanya sosok menyedihkan dengan mata yang dipenuhi kesakitan.

"Kau…," Lin Wei berbisik, suaranya serak. "Kau berani mengkhianatiku."

Xiao Chen tidak menjawab. Kepalanya tertunduk, helai rambut hitamnya menutupi wajahnya. Di punggungnya, tertancap belati perak milik Lin Wei.

Dulu, cinta mereka membara seperti matahari pagi. Janji-janji diukir di langit, sumpah setia diucapkan di bawah bintang-bintang. Namun, janji hanyalah debu. Sumpah adalah asap.

Rahasia tua mulai terkuak ketika Lin Wei menemukan gulungan kuno di ruang rahasia kuil. Gulungan itu mengungkap kebenaran pahit: Xiao Chen adalah keturunan dari klan iblis yang telah menghancurkan keluarganya. Cinta yang dia percayai ternyata dibangun di atas KEBOHONGAN dan Pengkhianatan.

"Kau tahu apa yang telah dilakukan klanmu padaku," Lin Wei melanjutkan, air mata menetes di antara asap dupa. "Kau tahu darah siapa yang mengalir di nadiku."

Xiao Chen mengangkat kepalanya, menatap Lin Wei dengan tatapan yang dulu penuh cinta, kini hanya ada penyesalan. "Aku… tidak pernah berniat menyakitimu, Wei Er. Aku mencintaimu."

Kata-kata itu bagai pisau yang menusuk jantung Lin Wei. Cinta yang dia rasakan dulu berubah menjadi BENCI yang membara. "Cinta? Kau berani menyebutnya cinta? Cintamu telah membunuhku sejak lama."

Flashback menghantuinya: pembantaian keluarganya, teriakan ibunya, tatapan kosong ayahnya yang terbunuh. Semua itu dilakukan oleh klan iblis yang sama dengan darah yang mengalir di tubuh Xiao Chen.

Lin Wei mencabut belati dari punggung Xiao Chen. Pria itu terhuyung, darah menyembur ke salju di lantai. Ia tidak melawan. Ia menerima takdirnya.

"Dulu, aku bersumpah akan melindungimu," gumam Lin Wei, air matanya membasahi wajahnya. "Sekarang, aku bersumpah akan membalas dendam atas nama keluargaku."

Darah mengalir di atas abu. Janji dilanggar, cinta dikubur. Lin Wei berdiri tegak, matanya membara dengan tekad. Dia tidak akan membiarkan Xiao Chen lolos begitu saja.

Balas dendam Lin Wei tidak tergesa-gesa. Tidak ada amarah yang meledak-ledak. Ia merencanakan dengan tenang dan metodis. Ia menghancurkan kekuatan Xiao Chen, satu per satu, hingga sang dewa matahari itu kehilangan segalanya: kekuasaan, kehormatan, bahkan namanya.

Pada akhirnya, Xiao Chen hanya tinggal cangkang kosong. Seorang pengemis tanpa identitas, hidup dalam kemelaratan dan penyesalan. Lin Wei melihatnya dari kejauhan, tatapannya dingin dan tanpa ampun.

"Kau telah membuatku kehilangan segalanya," bisik Lin Wei pada dirinya sendiri. "Sekarang… rasakan kehilangan yang sama."

Kematian Xiao Chen tidak terjadi secara tiba-tiba. Ia mati perlahan, dimakan oleh kesepian, penyesalan, dan kerinduan akan cinta yang tak mungkin lagi. Ketika jiwanya akhirnya lepas dari raga, Lin Wei merasakan kekosongan yang mendalam. Dendamnya telah terbalaskan. Tapi, kebahagiaan tidak ia temukan.

Di Istana Giok yang sunyi, Lin Wei berdiri di tengah salju yang berdarah. Udara dipenuhi aroma dupa yang menyesakkan. Ia telah menghapus nama dewa dari ingatan dunia.

Dan sekarang… ia sendirian dalam kegelapan abadi.

Bayangan matanya mengikuti, menyisakan jejak dingin di hatinya yang tak pernah bisa lagi mencintai.

You Might Also Like: Absurd Tapi Seru Kau Memilih Dia Demi

Langit yang Menyaksikan Pembalasan Kabut dupa mengepul di antara paviliun-paviliun tua Istana Musim Gugur. Mei Hua, atau yang kini dikenal...

Cerpen Seru: Langit Yang Menyaksikan Pembalasan Cerpen Seru: Langit Yang Menyaksikan Pembalasan

Langit yang Menyaksikan Pembalasan

Kabut dupa mengepul di antara paviliun-paviliun tua Istana Musim Gugur. Mei Hua, atau yang kini dikenal sebagai Lin Yue, merasakan getaran aneh setiap kali melangkah melewati taman lotus yang mengering. Usianya baru delapan belas tahun, namun matanya menyimpan kesedihan yang tak mungkin dimiliki gadis seusianya. Mimpi-mimpi aneh terus menghantuinya: pedang berlumuran darah, wajah yang dikenalnya namun tak mampu diingat namanya, dan pengkhianatan yang menusuk hingga ke tulang.

Lin Yue tahu, jauh di lubuk hatinya, bahwa ia pernah hidup sebelumnya. Dan kehidupan itu berakhir dengan tragis.

Ia seorang pelukis istana yang jenius di masa Dinasti Song, Mei Hua. Karya-karyanya memukau Kaisar, hingga membuatnya dipercaya untuk melukis potret RAHASIA sang selir kesayangan, Lian. Kecantikan Lian, yang tersimpan dalam lukisan Mei Hua, ternyata membangkitkan nafsu gelap Pangeran Rui, saudara Kaisar. Pangeran Rui, yang haus kekuasaan, menjebak Mei Hua atas tuduhan palsu, hanya agar ia bisa menyingkirkan Kaisar dan merebut Lian. Mei Hua dieksekusi di tengah malam, sementara Lian, ketakutan, memilih diam.

Kepingan-kepingan ingatan itu muncul perlahan, seperti pecahan kaca yang berhamburan. Lin Yue bekerja sebagai dayang di istana, melayani Permaisuri yang ramah namun menyimpan misteri. Ia sering mendengar bisikan tentang Pangeran Rui, yang kini bergelar Kaisar, dan Selir Lian, yang kini menjadi Permaisuri Agung.

Setiap kali melihat Kaisar, Lin Yue merasakan BENCI membara. Ia tahu, di balik senyumnya yang menawan, tersembunyi jiwa yang busuk. Dan setiap kali ia melihat Permaisuri Agung, ia merasakan campuran amarah dan kasihan. Lian, yang dulunya berani, kini hanyalah bayangan dari dirinya sendiri, terpenjara dalam istana emas.

Kesempatan Lin Yue untuk membalas dendam datang saat Kaisar memerintahkan potret dirinya dilukis. Ia memilih Lin Yue, terpesona oleh bakatnya yang luar biasa, tanpa menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan reinkarnasi wanita yang pernah ia hancurkan.

Dengan hati-hati, Lin Yue menyisipkan kode tersembunyi dalam lukisan Kaisar. Bukan kutukan sihir, bukan tulisan rahasia, melainkan sesuatu yang jauh lebih halus. Ia melukis mata Kaisar sedikit lebih tajam, senyumnya sedikit lebih dingin, memberikan kesan bahwa ia adalah sosok yang tidak bisa dipercaya. Lukisan itu memancarkan aura kekejaman.

Saat lukisan itu dipajang di aula besar istana, para pejabat mulai berbisik. Mereka melihat aura Kaisar, yang selama ini tersembunyi di balik fasad kekuasaan, kini terungkap dengan jelas. Kepercayaan rakyat padanya mulai goyah. Benih keraguan telah ditanam.

Pada suatu malam, Permaisuri Agung mendatangi Lin Yue. Matanya berkaca-kaca. "Kamu tahu, bukan? Kamu tahu siapa kamu," bisiknya.

Lin Yue menatapnya dengan tenang. "Saya hanyalah seorang pelukis, Yang Mulia."

Lian terisak. "Maafkan aku. Aku tidak punya pilihan."

Lin Yue tersenyum tipis. "Pilihan selalu ada, Yang Mulia. Hanya saja, beberapa pilihan lebih sulit dari yang lain."

Lin Yue kemudian mengajukan permohonan untuk mengundurkan diri dari istana. Ia ingin hidup tenang, jauh dari intrik dan dendam. Kaisar, yang reputasinya telah tercoreng, mengizinkannya pergi.

Lin Yue meninggalkan istana dengan TENANG. Ia tahu, dengan merusak reputasi Kaisar, ia telah menanam benih kehancuran yang tak terhindarkan. Pembalasannya telah terwujud, bukan dalam darah dan kematian, melainkan dalam keputusan yang mengubah takdir seluruh kerajaan.

Seribu tahun lagi, ketika bunga Mei Hua mekar kembali, kita akan bertemu lagi.

You Might Also Like: Kekurangan Face Wash Lokal Tanpa Bahan

Cinta yang Tak Pernah Lenyap Kabut ungu menggantung di atas Danau Bulan Sabit, serupa selubung duka. Di sanalah, di paviliun bambu yang la...

Cerita Populer: Cinta Yang Tak Pernah Lenyap Cerita Populer: Cinta Yang Tak Pernah Lenyap

Cinta yang Tak Pernah Lenyap

Kabut ungu menggantung di atas Danau Bulan Sabit, serupa selubung duka. Di sanalah, di paviliun bambu yang lapuk, Lin Wei dan Zhao Yun tumbuh bersama. Dua anak lelaki yang menemukan persahabatan di tengah intrik istana, terikat sumpah setia di bawah pohon sakura yang selalu bersemi. Lin Wei, seorang pangeran yang ditakdirkan untuk tahta, dan Zhao Yun, putra seorang jenderal yang diasingkan.

"Wei, ingatkah kau?" Zhao Yun bertanya, suaranya bagai sutra yang terpenggal. "Janji kita di bawah sakura itu?"

Lin Wei tersenyum tipis, senyum seorang penguasa yang menyimpan lautan rahasia. "Tentu saja, Yun. Selamanya, bukan?"

Namun, di balik senyum dan janji, tersembunyi kebenaran yang pahit. Zhao Yun adalah pewaris garis keturunan pemberontak, darah yang mengalir dalam nadinya adalah dosa di mata istana. Lin Wei, yang seharusnya melindungi sahabatnya, justru menjadi alat untuk mengamankan tahtanya.

"Kau tahu, Wei," bisik Zhao Yun suatu malam, cahaya bulan mengiris wajahnya. "Aku mendengar desas-desus tentang pengkhianatan. Bahwa ada mata-mata di antara kita."

"Desas-desus," Lin Wei mencibir lembut. "Hanya itu? Jangan percaya, Yun. Percayalah padaku."

Namun, kepercayaan itu retak perlahan, seperti porselen yang terjatuh dari ketinggian. Rahasia terungkap sedikit demi sedikit: surat-surat rahasia, pertemuan gelap, dan bisikan tentang rencana pembantaian. Zhao Yun menyadari bahwa Lin Wei, sahabatnya, telah mengkhianatinya. Ia telah menyerahkan keluarganya kepada kematian.

"Mengapa, Wei? MENGAPA?!" teriak Zhao Yun di tengah badai petir, pedangnya terhunus, bayangan kematian menari di matanya.

Lin Wei menatapnya, wajahnya tanpa ekspresi. "Tahta, Yun. Tahta adalah segalanya. Cinta kita, persahabatan kita, tak berarti apa-apa dibandingkan kekuasaan."

Pertempuran pun terjadi. Dua sahabat, dua saudara, kini menjadi musuh bebuyutan. Pedang beradu, darah membasahi tanah. Di akhir, Zhao Yun berdiri di atas Lin Wei yang sekarat, pedangnya tertancap di jantung sahabatnya.

"Kau... selalu tahu, bukan?" desah Lin Wei, darah menyembur dari mulutnya.

Zhao Yun menunduk, air mata mengalir di pipinya. "Aku berharap tidak."

Sebelum kegelapan menelan Lin Wei sepenuhnya, ia berbisik, "Aku mencintaimu, Yun, lebih dari tahta itu sendiri..."


Cinta yang tak pernah lenyap, tapi juga tak pernah cukup.

You Might Also Like: 57 Manfaat Skincare Lokal Lengkap Untuk

Tangisan yang Kucium Sebelum Tidur Kabut lembut merayap di Danau Bulan Sabit, serupa selendang yang disulam dari mimpi-mimpi yang tak te...

Tangisan Yang Kucium Sebelum Tidur Tangisan Yang Kucium Sebelum Tidur

Tangisan yang Kucium Sebelum Tidur

Kabut lembut merayap di Danau Bulan Sabit, serupa selendang yang disulam dari mimpi-mimpi yang tak terucapkan. Di sanalah, di bawah naungan pohon wisteria yang bunganya bagai air mata langit, aku pertama kali melihatnya.

Dia, Xiuying, berdiri tegak laksana bambu di tengah badai. Gaun sutranya, sehalus kulit kelopak mawar, menari mengikuti irama angin yang berbisik tentang kerinduan. Matanya, dua permata obsidian yang menyimpan seluruh galaksi, menatap lurus ke arahku.

Bukan tatapan biasa. Bukan sekadar sapaan. Melainkan pengakuan yang terukir dalam keabadian.

Setiap malam, di alam mimpi yang tercipta dari lukisan usang dan syair-syair yang dilupakan, aku bersamanya. Kami menari di atas jembatan pelangi, minum anggur dari cawan bulan, dan berbagi rahasia yang hanya dipahami oleh bintang-bintang. Cintaku padanya, sebesar Samudra Timur, sedalam Palung Mariana.

Namun, setiap kali aku terbangun, hanya ada keheningan yang menusuk jiwa. Sentuhannya, hangatnya, tawanya – semuanya lenyap bagai embun di pagi hari. Apakah dia nyata? Apakah ini hanya ilusi yang diciptakan oleh hati yang kesepian?

Aku mencari jawabannya di perpustakaan kuno, di antara gulungan perkamen yang berdebu dan peta-peta yang terlupakan. Aku bertanya pada para biksu yang bijaksana dan para peramal yang misterius. Tapi tidak ada yang bisa memberiku kepastian.

Hingga suatu malam, aku menemukan sebuah lukisan di loteng rumah leluhur. Lukisan seorang wanita yang wajahnya IDENTIK dengan Xiuying. Di bawahnya, terukir sebuah nama: Nenek Buyutku.

Kemudian, aku menemukan DIARINYA.

Di dalamnya, tertulis tentang seorang pemuda yang dia cintai, seorang pemuda yang hilang di medan perang, seorang pemuda yang tak pernah kembali. Di akhir setiap halaman, dia menulis: "Tangisan yang kucium sebelum tidur, adalah kenangan tentangmu."

Dia...

Rupanya, Xiuying bukan hanya kekasih impianku, tapi juga ECHO dari cinta yang abadi, cinta yang mengalir dalam darahku, cinta yang terperangkap dalam dimensi waktu yang berputar.

Malam itu, saat aku memeluk fotonya, air mataku jatuh membasahi pipiku. Aku mengerti. Cintaku padanya adalah warisan, beban, dan keindahan yang tak tertahankan. Aku mencintainya bukan hanya karena dia adalah dirinya, tapi karena dia adalah bagian dari diriku, bagian dari sejarahku, bagian dari jiwaku.

Tetapi… TUNGGU! Di balik foto itu, ada sebuah catatan kecil dengan huruf yang sudah memudar. Tertulis: "Aku menunggumu di Danau Bulan Sabit, tempat kita pertama kali bertemu, di saat bulan purnama bersinar paling terang. Ingatlah janjiku."

Dan dalam bisikan angin, aku mendengar sebuah nama... namanya... terukir di hatiku selamanya...

You Might Also Like: Jualan Skincare Bisnis Tanpa Stok