Tangisan yang Kucium Sebelum Tidur Kabut lembut merayap di Danau Bulan Sabit, serupa selendang yang disulam dari mimpi-mimpi yang tak te...

Tangisan Yang Kucium Sebelum Tidur Tangisan Yang Kucium Sebelum Tidur

Tangisan Yang Kucium Sebelum Tidur

Tangisan Yang Kucium Sebelum Tidur

Tangisan yang Kucium Sebelum Tidur

Kabut lembut merayap di Danau Bulan Sabit, serupa selendang yang disulam dari mimpi-mimpi yang tak terucapkan. Di sanalah, di bawah naungan pohon wisteria yang bunganya bagai air mata langit, aku pertama kali melihatnya.

Dia, Xiuying, berdiri tegak laksana bambu di tengah badai. Gaun sutranya, sehalus kulit kelopak mawar, menari mengikuti irama angin yang berbisik tentang kerinduan. Matanya, dua permata obsidian yang menyimpan seluruh galaksi, menatap lurus ke arahku.

Bukan tatapan biasa. Bukan sekadar sapaan. Melainkan pengakuan yang terukir dalam keabadian.

Setiap malam, di alam mimpi yang tercipta dari lukisan usang dan syair-syair yang dilupakan, aku bersamanya. Kami menari di atas jembatan pelangi, minum anggur dari cawan bulan, dan berbagi rahasia yang hanya dipahami oleh bintang-bintang. Cintaku padanya, sebesar Samudra Timur, sedalam Palung Mariana.

Namun, setiap kali aku terbangun, hanya ada keheningan yang menusuk jiwa. Sentuhannya, hangatnya, tawanya – semuanya lenyap bagai embun di pagi hari. Apakah dia nyata? Apakah ini hanya ilusi yang diciptakan oleh hati yang kesepian?

Aku mencari jawabannya di perpustakaan kuno, di antara gulungan perkamen yang berdebu dan peta-peta yang terlupakan. Aku bertanya pada para biksu yang bijaksana dan para peramal yang misterius. Tapi tidak ada yang bisa memberiku kepastian.

Hingga suatu malam, aku menemukan sebuah lukisan di loteng rumah leluhur. Lukisan seorang wanita yang wajahnya IDENTIK dengan Xiuying. Di bawahnya, terukir sebuah nama: Nenek Buyutku.

Kemudian, aku menemukan DIARINYA.

Di dalamnya, tertulis tentang seorang pemuda yang dia cintai, seorang pemuda yang hilang di medan perang, seorang pemuda yang tak pernah kembali. Di akhir setiap halaman, dia menulis: "Tangisan yang kucium sebelum tidur, adalah kenangan tentangmu."

Dia...

Rupanya, Xiuying bukan hanya kekasih impianku, tapi juga ECHO dari cinta yang abadi, cinta yang mengalir dalam darahku, cinta yang terperangkap dalam dimensi waktu yang berputar.

Malam itu, saat aku memeluk fotonya, air mataku jatuh membasahi pipiku. Aku mengerti. Cintaku padanya adalah warisan, beban, dan keindahan yang tak tertahankan. Aku mencintainya bukan hanya karena dia adalah dirinya, tapi karena dia adalah bagian dari diriku, bagian dari sejarahku, bagian dari jiwaku.

Tetapi… TUNGGU! Di balik foto itu, ada sebuah catatan kecil dengan huruf yang sudah memudar. Tertulis: "Aku menunggumu di Danau Bulan Sabit, tempat kita pertama kali bertemu, di saat bulan purnama bersinar paling terang. Ingatlah janjiku."

Dan dalam bisikan angin, aku mendengar sebuah nama... namanya... terukir di hatiku selamanya...

You Might Also Like: Jualan Skincare Bisnis Tanpa Stok

0 Comments: