Cinta yang Tak Pernah Lenyap Kabut ungu menggantung di atas Danau Bulan Sabit, serupa selubung duka. Di sanalah, di paviliun bambu yang la...

Cerita Populer: Cinta Yang Tak Pernah Lenyap Cerita Populer: Cinta Yang Tak Pernah Lenyap

Cerita Populer: Cinta Yang Tak Pernah Lenyap

Cerita Populer: Cinta Yang Tak Pernah Lenyap

Cinta yang Tak Pernah Lenyap

Kabut ungu menggantung di atas Danau Bulan Sabit, serupa selubung duka. Di sanalah, di paviliun bambu yang lapuk, Lin Wei dan Zhao Yun tumbuh bersama. Dua anak lelaki yang menemukan persahabatan di tengah intrik istana, terikat sumpah setia di bawah pohon sakura yang selalu bersemi. Lin Wei, seorang pangeran yang ditakdirkan untuk tahta, dan Zhao Yun, putra seorang jenderal yang diasingkan.

"Wei, ingatkah kau?" Zhao Yun bertanya, suaranya bagai sutra yang terpenggal. "Janji kita di bawah sakura itu?"

Lin Wei tersenyum tipis, senyum seorang penguasa yang menyimpan lautan rahasia. "Tentu saja, Yun. Selamanya, bukan?"

Namun, di balik senyum dan janji, tersembunyi kebenaran yang pahit. Zhao Yun adalah pewaris garis keturunan pemberontak, darah yang mengalir dalam nadinya adalah dosa di mata istana. Lin Wei, yang seharusnya melindungi sahabatnya, justru menjadi alat untuk mengamankan tahtanya.

"Kau tahu, Wei," bisik Zhao Yun suatu malam, cahaya bulan mengiris wajahnya. "Aku mendengar desas-desus tentang pengkhianatan. Bahwa ada mata-mata di antara kita."

"Desas-desus," Lin Wei mencibir lembut. "Hanya itu? Jangan percaya, Yun. Percayalah padaku."

Namun, kepercayaan itu retak perlahan, seperti porselen yang terjatuh dari ketinggian. Rahasia terungkap sedikit demi sedikit: surat-surat rahasia, pertemuan gelap, dan bisikan tentang rencana pembantaian. Zhao Yun menyadari bahwa Lin Wei, sahabatnya, telah mengkhianatinya. Ia telah menyerahkan keluarganya kepada kematian.

"Mengapa, Wei? MENGAPA?!" teriak Zhao Yun di tengah badai petir, pedangnya terhunus, bayangan kematian menari di matanya.

Lin Wei menatapnya, wajahnya tanpa ekspresi. "Tahta, Yun. Tahta adalah segalanya. Cinta kita, persahabatan kita, tak berarti apa-apa dibandingkan kekuasaan."

Pertempuran pun terjadi. Dua sahabat, dua saudara, kini menjadi musuh bebuyutan. Pedang beradu, darah membasahi tanah. Di akhir, Zhao Yun berdiri di atas Lin Wei yang sekarat, pedangnya tertancap di jantung sahabatnya.

"Kau... selalu tahu, bukan?" desah Lin Wei, darah menyembur dari mulutnya.

Zhao Yun menunduk, air mata mengalir di pipinya. "Aku berharap tidak."

Sebelum kegelapan menelan Lin Wei sepenuhnya, ia berbisik, "Aku mencintaimu, Yun, lebih dari tahta itu sendiri..."


Cinta yang tak pernah lenyap, tapi juga tak pernah cukup.

You Might Also Like: 57 Manfaat Skincare Lokal Lengkap Untuk

0 Comments: